Jakarta – Fenomena yang sering disebut “performative male”, termasuk ritual literasi anak muda urban dengan kopi matcha di sudut kafe, kerap dianggap sekadar pencarian validasi sosial. Namun, penelitian terbaru Brock dan Carleheden (2025) menunjukkan sisi lain: performa kerentanan justru bisa menjadi strategi kompleks dalam memperkuat pengaruh sosial.
Contoh paling nyata datang dari panggung internasional. Presiden Rusia, Vladimir Putin, pernah menangis di depan publik sebagai bentuk kekuatan humanis. Sementara intelektual publik Jordan Peterson kerap menitikkan air mata saat berbicara tentang penderitaan pria, sekaligus meneguhkan gagasan maskulinitas tradisional.
Dalam konteks lokal, gaya literasi anak muda Jakarta Selatan, membeli buku, mengobrol di kafe, hingga memotret aktivitas membaca—sesungguhnya merupakan cara mereka menegosiasikan identitas modern. Estetika dan literasi menjadi modal sosial, bukan sekadar gaya hidup.
“Yang tampak seperti pencitraan, sebenarnya adalah pintu masuk menuju kesadaran kolektif tentang pentingnya literasi,” terang seorang pengamat budaya muda.
Setiap buku yang dibeli untuk dipamerkan, setiap obrolan literasi kecil-kecilan di ruang publik, berkontribusi membangun gerakan literasi yang lebih luas. Fenomena ini menciptakan norma baru: bahwa membaca itu penting, dan literasi layak hadir di ruang publik.
Daripada terus memperdebatkan niat di balik performa, lebih produktif bila kita melihat bagaimana performa bisa menjadi jalan menuju substansi, membentuk kebiasaan, menumbuhkan minat baca, dan memperkuat ekosistem literasi bangsa.