Saturday, September 13, 2025

Fenomena Performative Male - Dari Ritual Literasi hingga Norma Baru Membaca di Ruang Publik

 


Jakarta – Fenomena yang sering disebut “performative male”, termasuk ritual literasi anak muda urban dengan kopi matcha di sudut kafe, kerap dianggap sekadar pencarian validasi sosial. Namun, penelitian terbaru Brock dan Carleheden (2025) menunjukkan sisi lain: performa kerentanan justru bisa menjadi strategi kompleks dalam memperkuat pengaruh sosial.


Contoh paling nyata datang dari panggung internasional. Presiden Rusia, Vladimir Putin, pernah menangis di depan publik sebagai bentuk kekuatan humanis. Sementara intelektual publik Jordan Peterson kerap menitikkan air mata saat berbicara tentang penderitaan pria, sekaligus meneguhkan gagasan maskulinitas tradisional.


Dalam konteks lokal, gaya literasi anak muda Jakarta Selatan, membeli buku, mengobrol di kafe, hingga memotret aktivitas membaca—sesungguhnya merupakan cara mereka menegosiasikan identitas modern. Estetika dan literasi menjadi modal sosial, bukan sekadar gaya hidup.


“Yang tampak seperti pencitraan, sebenarnya adalah pintu masuk menuju kesadaran kolektif tentang pentingnya literasi,” terang seorang pengamat budaya muda.


Setiap buku yang dibeli untuk dipamerkan, setiap obrolan literasi kecil-kecilan di ruang publik, berkontribusi membangun gerakan literasi yang lebih luas. Fenomena ini menciptakan norma baru: bahwa membaca itu penting, dan literasi layak hadir di ruang publik.


Daripada terus memperdebatkan niat di balik performa, lebih produktif bila kita melihat bagaimana performa bisa menjadi jalan menuju substansi, membentuk kebiasaan, menumbuhkan minat baca, dan memperkuat ekosistem literasi bangsa.

Read More

Friday, September 12, 2025

Pestapora 2025 - Dari Panggung Musik ke Panggung Idealisme dan Krisis Iklim

 



Jakarta – Gelaran Pestapora 2025 berubah menjadi lebih dari sekadar pesta musik. Gejolak politik dan isu sponsor yang dituding merusak lingkungan memicu gelombang sikap berbeda dari para musisi.


Puluhan musisi memilih mundur dari panggung sebagai bentuk perlawanan. Bagi mereka, konsistensi idealisme dan penolakan terhadap kolaborasi dengan entitas yang dianggap merusak lingkungan lebih penting daripada sorak penonton.


Namun, tak sedikit pula musisi yang tetap tampil. Bedanya, mereka mengambil langkah kompromi: mendonasikan honor sebagai simbol kepedulian dan perlawanan yang elegan. Sikap ini menunjukkan bahwa ada banyak cara menjaga prinsip, tanpa kehilangan ruang untuk menyampaikan pesan di atas panggung.


Pestapora tahun ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar festival musik lintas genre. Ia menjelma menjadi “pesta pemikiran” ruang refleksi tentang relevansi musik dalam konteks isu-isu besar, mulai dari politik, lingkungan hidup, hingga krisis iklim global.


Momentum ini menegaskan, musik tidak lagi sekadar hobi atau hiburan, melainkan bagian penting dari kesadaran kolektif dalam menghadapi tantangan zaman.

Read More