Showing posts with label Gus Yahya. Show all posts
Showing posts with label Gus Yahya. Show all posts

Thursday, February 22, 2024

Gus Yahya: NU Siap Jaga Kondusifitas Bersama Menko Polhukam

Gus Yahya: NU Siap Jaga Kondusifitas Bersama Menko Polhukam

 



Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto melakukan kunjungan perdana ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta pada Kamis (22/2/2024). Dalam pertemuan tersebut, Menko Polhukam dan Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf membahas potensi kerja sama dalam menjaga kondusifitas masyarakat setelah Pemilu 2024.


Kedua belah pihak sepakat bahwa peran dan kontribusi Nahdlatul Ulama sangatlah penting dalam menjaga situasi yang kondusif pasca Pileg dan Pilpres. Gus Yahya menegaskan bahwa NU siap bekerja sama dengan pemerintah untuk mengupayakan segala hal yang diperlukan dalam menjaga kondusifitas.


“Insyaallah kita mampu menjaga keadaan masyarakat ini supaya tetap kondusif,” kata Gus Yahya.


Menko Polhukam Hadi Tjahjanto mengapresiasi peran besar PBNU dalam menjaga stabilitas negara. Ia menekankan pentingnya menjaga kondisi yang kondusif agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.


“PBNU ini adalah organsisasi kemasyarakatan yang sangat besar, memiliki peran yang besar untuk memberikan kontribusi terhadap situasi yang kondusif seperti saat ini pasca Pileg Pilpres,” ucapnya.


Kunjungan ini menunjukkan komitmen pemerintah dan PBNU dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sinergi antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan seperti NU menjadi kunci utama dalam menciptakan situasi yang kondusif dan damai di Indonesia.

Read More

Sunday, November 24, 2019

Gus Yahya - NU SESUDAH INI (BAGIAN KEDUA)

Gus Yahya - NU SESUDAH INI (BAGIAN KEDUA)

foto gus yahya cholil staquf - ansor.web.id


CAPAIAN-CAPAIAN

Untuk membangun peradaban, diperlukan suatu konstruksi sosial-politik sebagai basis untuk mengawali perjuangan. Demikianlah rumus sejarah. Itu pula sebabnya, Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencari-cari tempat yang cocok untuk hijrah setelah menyimpulkan bahwa Makkah tidak bisa dijadikan basis awalan. Yatsrib menjadi destinasi yang ideal karena penduduknya bersedia membuat kesepakatan untuk membangun konstruksi sosial-politik bersama-sama Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan kaum Muhajirin. Bahwa belakangan ada pihak yang mengingkari kesepakatan, itu soal lain.

Berbeda dari organisasi-organisasi lain yang ada di kurun waktu berdirinya, NU hadir dengan konstruksi sosial-politik yang nyaris komplit minus kuasa negara. NU merepresentasikan suatu komunitas dengan ikatan kultural yang kuat, bahkan dengan sejenis “struktur kekuasaan” berupa pengaruh para kyai dengan daya kendali yang kuat pula atas jama’ahnya.

Ikhwanul Muslimun yang didirikan tahun 1929 baru berupa ideologi yang ditawarkan. Demikian pula Syarikat Islam dan Muhammadiyah, tahun 1912, mengumpulkan orang-orang yang setuju dengan suatu gagasan abstrak dan terbatas, tentang perjuangan politik, atau pembaharuan pendidikan. NU adalah keseluruhan komunitas berikut kompleks budaya dan hubungan-hubungan kuasa yang menjadi bagian dari tradisinya.

Tapi tetap saja apa yang ada itu belum cukup. Maka, bersama-sama elemen-elemen Bangsa lainnya, NU ikut memperjuangkan negara, yaitu NKRI, dengan kesadaran penuh untuk memiliki negara sendiri, berdiri sendiri. Sama sekali tidak ada wawasan untuk bergabung dengan bagian Dunia Islam lainnya dalam satu entitas negara untuk mengembalikan konstruksi Turki Usmani atau yang sejenisnya. Karena sudah pasti bahwa kedatangan era peradaban baru telah menjadi kesadaran bersama.

Harus dipahami bahwa baik mendirikan NU maupun mendirikan NKRI bukanlah “proyek” langsung jadi seperi mincuki mindhik. Semua itu adalah perjuangan merintus peradaban baru. Proyek raksasa yang harus digembalakan mengarungi sejarah, menembus bolak-baliknya jaman. Maka nilai yang paling transenden dalam hal ini adalah cita-cita peradaban itu sendiri. Banyak pernyataan-pernyataan atau keputusan-keputusan yang dibuat oleh para Bapak Pendiri dan para pahlawan dari generasi yang lalu harus diletakkan pada posisi temporer, tergantung konteks kehadirannya. Maka tafsir dan perlakuan terhadap kutipan-kutipan harus dibarengi dengan pemahaman yang jernih akan konteks tersebut.

Tak perlu kejang-kejang mendapati kenyataan bahwa Kyai Wahab Hasbullah pada tahun 1952 menyeret NU keluar dari Masyumi dan berpraktek sebagai partai politik, sedang Hadlratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari sebelum wafat pernah menyatakan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi seluruh umat Islam Indonesia. Demikian pula bahwa Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 (NKRI) tahun 1959, padahal tadinya sudah setuju pembentukan Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949.

Kita bersyukur bahwa dari jaman ke jaman Allah Subhanahu Wa Ta’ala menganugerahkan pemimpin-pemimpin yang bashiroh ruhaniyahnya (ketajaman mata batin) senantiasa dinaungi petunjuk-Nya. Walaupun harus menempuh berbagai gejolak yang mengerikan, agenda membangun peradaban tak pernah patah sama sekali ataupun terhenti.

Kini kita telah memiliki jam’iyyah yang —walaupun masih lebih banyak kekurangannya daripada kelebihannya— bukan hanya sudah operasional sampai tingkat mampu bertahan hidup saja, tapi sudah tertransformasikan sehingga cukup cakap untuk memasuki jaman baru abad ke-21. Negara kita ini pun cukup tahan waras melalui macam-macam benturan yang tak masuk akal, menjadi satu-satunya negara di Dunia Islam yang tetap stabil ditengah demokratisasi berkelanjutan, pada saat yang lainnya terkena sawan bahkan kejangkitan alergi mematikan ketika bersenggolan dengan demokrasi. Bahwa ada kekhawatiran-kekhawatiran, bukan alasan untuk berkecil hati. Banyak temannya. Seluruh dunia memang dihantui macam-macam kekhawatiran.

Bahkan, kemelut global yang memuncak, khususnya terkait stabilitas dan keamanan, justru menerbitkan peluang peran besar bagi NU dan NKRI. Gagasan “Humanitarian Islam” (Islam untuk Kemanusiaan, Al Islam lil Insaniyyah) yang dideklarasikan oleh Gerakan Pemuda Ansor pada 2017 di Jombang kemudian dilengkapi dengan kerangka teologis secara valid oleh Musyawarah Nasional Alim-Ulama NU di Kota Banjar, 2019, beserta “Manifesto Nusantara” yang diumumkan di Yogya, 2018, kini mulai mewarnai wacana global tentang perdamaian dan tata dunia baru yang dimpikan semua orang, yaitu “tata dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, ditegakkan diatas dasar penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat diantara sesama”.

Apabila hal ini dikelola dengan semestinya, akan tercipta kemlĂȘtikan —boso Indonesiane opo ‘ki, Lak?— (leverage) yang tak ternilai, yaitu ketika realitas keunggulan Indonesia semakin dikenal dan diakui oleh dunia, sebagaimana yang dewasa ini mulai terasa. Pada gilirannya, kemlĂȘtikan itu akan menjadi kekuatan tawar yang melambungkan kedudukan Indonesia dalam percaturan internasional.

NU sendiri telah memiliki lembaga-lembaga yang terus berkembang: lebih dari dua puluh ribu pesantren, belasan ribu madrasah dan sekolah, puluhan perguruan tinggi, ratusan rumah sakit, sentra-sentra ekonomi, dan sebagainya; jutaan kader terlatih dan panen sarjana secara besar-besaran di berbagai bidang; jaringan kerja sama didalam dan luar negeri yang mulai menggurita; semua tinggal menunggu pencanggihan kualitas dan penerapan konstruksi gerakan yang lebih berdaya. Gambaran statistik tentang luasan pengaruh NU saat ini pun amat mengesankan. Apabila NU konsisten saja dengan positioning dan langkah-langkahnya dalam dinamika masyarakat seperti sekarang, angka-angka statistik itu masih bisa terus bertambah. Apalagi jika berhasil menerapkan konstruksi gerakan yang lebih progresif.

KH. Yahya Cholil Staquf
Source : https://web.facebook.com/staquf/posts/10216439682726814
Read More

Saturday, November 23, 2019

Gus Yahya - NU SESUDAH INI (BAGIAN PERTAMA)

Gus Yahya - NU SESUDAH INI (BAGIAN PERTAMA)

foto gus yahya cholil staquf - ansor.web.id

Berpikir tentang NU abad ke-2 itu berlebihan. Memperkirakan proyeksi beberapa puluh tahun kedepan mungkin masih masuk akal. Tapi 100 tahun adalah masa yang terlalu panjang. Apalagi ditengah berbagai ketidakmenentuan global seperti yang kita lihat dewasa ini.

Dalam 100 tahun yang telah berlalu saja begitu banyak “belokan” sejarah yang tak seorang pun menduga sebelumnya. Bahkan Indonesia Merdeka adalah tidakterdugaan. Kekalahan Komunisme Internasional, kebangkitan Syi’ah Imamiyah, reformasi politik di Indonesia, keruntuhan Timur Tengah, semuanya jauh dari ramalan, setidak-tidaknya mengenai waktu tibanya.

Seratus tahun ke depan akan jauh lebih tak terperi, mengingat intensitas dan akselerasi perubahan yang datang bertubi-tubi, sehingga perubahan menjadi gejala utama dinamika dunia. Teknologi, politik, ekonomi, nilai-nilai dan norma-norma, semua seperti “gabah diintĂȘri”. Terus-menerus berubah dengan cepat. Semakin sulit menandai adanya satu era kemapanan tertentu.

Yang bisa dilakukan adalah menganggarkan langkah setapak demi setapak, sesuai dengan “jarak pandang ke depan” dari tempat berdirinya (stand point) saat ini. NU, pertama-tama, harus memahami capaian-capaiannya sendiri sejauh ini. Kemudian menandai momentum-momentum yang terjadi di lingkungan beredarnya dan memawas proyeksi realitas yang ada di depan, sehingga langkah-langkah yang diambil, yaitu agenda-agenda majunya, dapat dianggarkan secara valid, bukan sekedar angan-angan atau daftar keinginan yang tak tentu arah tujuannya.

Sebelum semua itu, tentu saja harus terlebih dahulu dipahami dengan jernih agenda absolut keberadaan NU, yakni tujuan kelahirannya, sebagai sudut pandang dalam mencermati hal-hal diatas.

AGENDA PERADABAN

Tidak tepat jika dikatakan bahwa NU didirikan untuk menentang faham Wahabi. Kalau dikatakan sebagai tanggapan atas dikuasainya Hijaz oleh Keluarga Saud, mungkin ada benarnya. Tapi bukan hanya soal Wahabinya. Berdirinya Kerajaan Saudi Arabia adalah momentum yang sangat menentukan dan terus menjadi salah satu faktor utama dalam dinamika sejarah dunia selama hampir seratus tahun sejak saat itu.

Pada dasarnya, tahun 1920-an, berakhirnya Imperium Turki Usmani, adalah momentum perubahan yang amat mendasar dalam keseluruhan sejarah peradaban Islam. Segala kemapanan selama 13 abad sebelumnya, memasuki gerbang keluruhan yang tak dapat dibalikkan lagi. Musim gugur peradaban.

Dalam kerangka sejarah Peradaban Islam sebelum ini, Nusantara adalah pinggiran. Ia bukan bagian dari corak sosial-budaya yang dimapankan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam yang dominan, baik masyarakat Sunni yang dikuasai Dinasti Usmani di Istanbul, maupun masyarakat Syi’ah yang dirajai Dinasti Shafawi di Isfahan. Dapat dimaklumi jika kemudian di Nusantara berkembang corak sosial-budaya masyarakat Muslim yang unik, berbeda dari corak umum masyarakat Muslim di belahan Dunia Islam lainnya.

Runtuhnya Turki Usmani setelah sebelumnya berhasil menetralisir Dinasti Shafawi —saingannya selama hampir dua setengah abad, merupakan tonggak terhentinya laju ekspansi politik Islam. Ia juga menandai era baru dalam sejarah peradaban dunia, ketika dunia moderen menggelinding dalam helaan dominasi Barat. Dengan demikian, Dunia Islam harus memulai suatu pergulatan untuk mencari model yang baru bagi peradabannya sendiri.

Nusantara, setelah sejak abad ke-16 mengembangkan corak sosial-budaya yang berbeda dari Usmani dan Shafawi sebagai arus utama, memiliki alternatif yang dapat ditawarkan dalam pergulatan mencari model peradaban baru itu. Maka para ulamanya mendirikan NU, suatu konstruksi pionir sebagai basis kelembagaan untuk ikut serta dalam perjuangan tersebut.

Jelaslah bahwa agenda absolut NU adalah membangun peradaban. Apakah ini arogan? Tidak. Karena NU tidak mengangankan penaklukan dan dominasi. NU berkehendak untuk menyumbang. Dengan kesadaran penuh bahwa diluar sana ada aktor-aktor yang sama mulianya dan sama haknya untuk ikut menentukan masa depan umat manusia, baik dari dalam lingkungan Islam maupun dari luarnya.

KH. Yahya Cholil Staquf
Source : https://web.facebook.com/staquf/posts/10216431245595891
Read More

Friday, November 22, 2019

Gus Yahya - SANTRI UNIVERSAL

Gus Yahya - SANTRI UNIVERSAL


SANTRI UNIVERSAL - Oleh Gus Yahya

Sebaiknya orang NU tidak membiarkan diri larut dalam eforia kebanggaan akan pengakuan atas jasa-jasa di masa lalu. Karena dua alasan. Pertama, toh jasa-jasa itu dipersembahkan oleh generasi yang telah lalu, bukan oleh dhiyapurannya bekakas-bekakas pating pecenges masa kini. Kedua, karena NU tidak boleh hanya menjadi identitas tribal yang statis dan "menuntut", tapi harus ditegakkan sebagai visi universal yang aktif dan "mengabdi" --ini adalah intinya inti, core of the core, dari khitthah Nahdliyyah.

Bahwa orang NU generasi yang lalu telah banyak berjasa, itu bukan alasan bagi generasi sekarang untuk menuntut imbalannya seperti gus nggak bisa ngaji mengharapkan salam tempel dari alumni. Kemuliaan para pendahulu tidak boleh begitu saja dijadikan definisi bagi para penuntut warisannya. Engkau adalah apa yang kau perbuat, sebagaimana bapakmu adalah jasanya. Dan engkau bukan bapakmu.

Karya para pendahulu --yakni bapakmu dan embahmu hingga embahnya embahmu dan embah-embahnya-- menghadirkan dampak berskala peradaban karena mereka melakukannya demi semesta universal, bukan demi diri sendiri, bukan juga demi kamu saja! Kini, akan menjadi kehinaanmu kalau kau menuntut-nuntut orang agar menghargai jasa-jasa mereka sedangkan kau sendiri tidak memuliakan mereka dengan menyorohkan dirimu kedalam pengabdian bagi semesta universal pula.

Maka, menjadi santri adalah menjadi universal. Atribut santri adalah hak universal. Identitas santri adalah identitas universal. Yaitu nilai-nilai luhur dalam pergulatan rohani untuk memperjuangkan kemuliaan peradaban universal. Barangsiapa memperhatikan rohani dengan memupuk kekuatannya untuk ikut serta memperjuangkan peradaban yang mulia bagi seluruh umat manusia, itulah santri

KH. Yahya Cholil Staquf

Read More